nukotamojokerto.or.id

Merawat Tradisi, Membangun Masa Depan

Featured

Ngaji Budaya PCNU Kota Mojokerto: dari Kritik Akhlak sampai Solusi Literasi atasi Anarkisme

Kota Mojokerto — Acara Ngaji Budaya yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Mojokerto pada 11 Oktober 2025 dalam rangka Hari Santri Nasional 2025, menjadi ruang refleksi mendalam antara agama, budaya, dan pendidikan. Tidak sekadar membahas harmonisasi nilai, forum ini juga menyuguhkan kritik tajam terhadap degradasi moral generasi muda serta menawarkan solusi konkret melalui pendidikan dan literasi untuk menekan maraknya aksi anarkis.

Kegiatan yang menghadirkan para budayawan, kiai, dan aktivis itu ditutup dengan kidung Montrowedo, tembang perlindungan khas Jawa yang sarat pesan perdamaian dan pelestarian budaya.

“Salam Budaya” yang Terlupakan: Cermin Lunturnya Jati Diri

Dalam pembukaannya, Kanjeng Adipati Wira Wongso Amerta Wongsonegoro (Gus Wiro) mengucapkan tiga salam: Assalamualaikum, Salam Rahayu, dan Salam Budaya. Dua salam pertama dijawab serentak oleh peserta, namun Salam Budaya hening tanpa balasan.

“Inilah ngaji budaya kan di situ,” ujar Gus Wiro sembari tersenyum getir. “Agama dan budaya memang tidak bisa dijadikan satu, tapi budaya harus melalui agama, dan agama berfungsi menata norma dalam budaya.”

Dengan gaya blak-blakan, ia menilai akhlak dan budi pekerti orang Jawa kini “hancur total”. “Wong Jowo lali karo Jawane (orang Jawa lupa pada ke-Jawa-annya),” serunya, menyoroti hilangnya tata krama sederhana seperti meminta izin ketika melangkahi makanan.

Filsafat Aksara Jawa: Harmoni Waktu, Agama, dan Budaya

Gus Wiro kemudian mengurai filosofi mendalam di balik aksara Jawa, yang mencerminkan kecerdasan leluhur dalam mengintegrasikan konsep waktu dan spiritualitas.

“Dua puluh huruf dasar aksara Jawa dikurangi delapan (simbol windu, delapan tahun), tersisa dua belas (simbol dua belas bulan). Dua belas dikurangi tujuh (hari dalam seminggu), hasilnya lima (simbol pasaran),” paparnya.

Baginya, sistem tersebut menunjukkan bahwa orang Jawa telah lama hidup dalam harmoni nilai agama dan budaya, jauh sebelum istilah moderasi beragama menjadi populer.

Abdul Ghani: “Amuk Massa Bukan Budaya, Tapi Tindakan Orang Bodoh”

Narasumber kedua, Raden Bagus Abdul Ghani, menyoroti tema Budaya Amuk dengan nada kritis. “Saya bingung, sejak kapan ‘ngamuk’ disebut budaya?” tanyanya retoris.

Menurutnya, aksi anarkis massa merupakan perilaku tidak bertanggung jawab dan mencerminkan kebodohan. Mantan aktivis reformasi ini mengingatkan bahwa tindakan seperti pembakaran Gedung Grahadi Surabaya adalah perusakan terhadap cagar budaya kelas A.

“Kalau dibakar, dibangun lagi pakai uang siapa? Pajak kita! Jadi yang membakar itu orang bodoh,” tegasnya.

Warung Literasi Brongkol sebagai Ruang Tumbuh Generasi Sadar

Sebagai solusi, Abdul Ghani memperkenalkan inisiatif pribadinya: “Warung Literasi” di Dusun Brongkol, rumah sederhananya yang disulap menjadi laboratorium seni dan pemikiran bagi anak muda.

“Saya ingin warung saya menjadi warung literasi, tempat generasi muda berpikir sebelum turun ke jalan,” ujarnya.

Di warung tersebut, pemuda bebas belajar teater, tari, dan musik tanpa biaya pendaftaran. “Tapi kalau ngopi dan makan ya tetap bayar, saya belum cukup kaya untuk menanggung semuanya,” selorohnya, disambut tawa peserta.

Baik Gus Wiro maupun Abdul Ghani sepakat bahwa akar dari kemerosotan moral dan aksi anarkis terletak pada sistem pendidikan yang kehilangan ruh kebangsaan.

Dalam sesi tanya jawab, peserta menyinggung hilangnya mata pelajaran Budi Pekerti dan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) yang membuat generasi muda kehilangan rasa cinta tanah air.

Ghani menambahkan kritiknya terhadap pola pikir pendidikan modern:
“Guru sering bilang jangan membanding-bandingkan murid. Tapi Tuhan saja membandingkan makhluk-Nya—ada yang masuk surga, ada yang ke neraka. Ukurannya jelas,” ujarnya lantang. “Pendidikan harus mencerdaskan, dan orang cerdas tidak akan bertindak ceroboh.”

Menanggapi pertanyaan tentang budaya carok di Madura, Ghani menjelaskan perbedaannya dengan anarkisme. Menurutnya, carok sejati adalah duel harga diri yang diatur dengan etika, bahkan jenazah lawan pun dihormati.

“Orang Jepang punya Bushido dan diakui dunia sebagai budaya luhur. Kenapa carok tidak?” tantangnya, mengajak publik melihat kearifan lokal tanpa stereotip negatif.

Acara ditutup dengan Kidung Montrowedo yang dibawakan oleh Mas Iwan, mengalun sebagai doa perlindungan dan simbol penyatuan nilai Islam dengan budaya Nusantara.

Ketua Lesbumi PCNU Kota Mojokerto menegaskan harapannya agar Ngaji Budaya menjadi kegiatan rutin.
“Semoga tidak kapok datang lagi. Kami merencanakan ngaji budaya ini berlangsung secara berkala,” ujarnya.

Lebih dari sekadar diskusi, Ngaji Budaya menjadi deklarasi moral dan intelektual: bahwa solusi atas kegaduhan sosial hanya dapat lahir dari harmoni antara akal yang tercerahkan oleh literasi, hati yang dituntun agama, dan raga yang berbudaya luhur.(lmcr)