nukotamojokerto.or.id

Merawat Tradisi, Membangun Masa Depan

Featured Kegiatan

MERAJUT RESOLUSI JIHAD DAN CINDELARAS: PCNU MOJOKERTO GELAR WAYANG BEBER PERINGATI HARI SANTRI 2025

MOJOKERTO – Memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 2025, PCNU Kota Mojokerto menyajikan sebuah gelaran yang unik dan sarat makna: Pagelaran Wayang Beber dengan lakon “Cindelaras”, Sabtu (18/10/2025). Acara yang digelar di halaman kantor PCNU setempat ini tidak hanya menjadi pertunjukan seni, tetapi juga sebuah pernyataan politik budaya tentang komitmen NU melestarikan warisan leluhur sekaligus mengingatkan pada semangat Resolusi Jihad.

Pagelaran dibuka dengan tembang-tembang islami yang dibawakan oleh Bintang Songo, grup musik Lesbumi PCNU Kota Mojokerto. Lantunan sholawat seperti “Salatullah Salamullah” dan “Ahlil Badri” menciptakan nuansa sakral dan hikmat, menyiapkan hati audiens untuk menyelami kisah wayang yang akan dipentaskan.

Wayang Beber: Menghidupkan Kembali Pusaka yang Hampir Punah

Dalam sambutannya, Gus Saifullah selaku Ketua Lesbumi PCNU Kota Mojokerto mengungkapkan bahwa pagelaran wayang di kantor PCNU mungkin yang pertama dalam 10-15 tahun terakhir.

“Wayang beber ini salah satu jenis wayang… Pada intinya semua itu mengandung tontonan yang jadi tuntunan,” ujarnya. Beliau menegaskan komitmen Lesbumi untuk menghidupkan tradisi-tradisi lama yang diwariskan leluhur, yang usianya sudah mencapai lebih dari 700 tahun sejak era Majapahit.

Sambutan dari Gus Ali Fakhrudin mewakili Tanfidiyah PCNU menekankan strategi dakwah para Wali Songo yang menggunakan wayang sebagai wasilah (perantara) yang efektif.

“Wayang sangat digemari pada waktu itu… sehingga para wali songo luar biasa strateginya dengan alkulturasi budaya… ketika masuk untuk melihat wayang mereka ditarik tiket. Nah, tiketnya apa? Tiketnya mengucapkan kalimat syahadat,” paparnya, mengingatkan kembali pada kearifan leluhur dalam menyebarkan Islam.

Sejarah Panjang Wayang Beber dalam Narasi Master of Ceremony

Sebelum pagelaran dimulai, pembawa acara, Mas Prastowo, memberikan kuliah singkat yang mendalam tentang sejarah Wayang Beber. Ia menelusuri asal-usulnya hingga ke Kerajaan Jenggala pada tahun 1223 M, dimana media pertunjukannya masih menggunakan daun siwalan atau lontar.

“Di zaman Mojopahit inilah wayang beber menjadi tontonan yang sangat viral,” ujarnya, sambil menjelaskan perjalanan wayang beber melalui era Demak, Mataram, hingga akhirnya banyak peninggalannya yang terselamatkan di Pacitan dan Gunung Kidul.

Cindelaras dan Resolusi Jihad: Dua Cerita tentang Perlawanan atas Ketidakadilan

Pagelaran inti dibuka dengan Kidung Pambuko (tembang pembuka) yang merupakan terjemahan puitis dari Surah Al-Fatihah dalam bahasa Jawa, menegaskan integrasi antara nilai spiritual Islam dan budaya lokal.

Lakon Cindelaras yang dipentaskan oleh sanggar Panji Cemeng dari Balong Rawe, Kedundung, Kota Mojokerto, berkisah tentang seorang pangeran yang terbuang karena fitnah ibunya, Permaisuri, oleh selir yang iri hati. Dibesarkan di hutan, Cindelaras menemukan seekor ayam jago ajaib yang mampu berbicara dan mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya. Dengan keberanian dan ayam jagonya, Cindelaras akhirnya berhasil membuktikan kebenaran dan memulihkan hak ibunya.

Yang unik, narator secara eksplisit menarik paralel antara perjuangan Cindelaras dengan perjuangan para santri.

“Cindelaras tidak gentar menghadapi raja yang lalim. Demikian pula para santri. Mereka tidak gentar menghadapi penjajah bersenjata lengkap,” seru narator di awal pertunjukan.

Dalam dialog lain ditegaskan, “Kisah Raden Cindelaras iku mirip karo kisah para santri loh… Para santri ingin melawan penjajah bukan untuk marah tapi untuk menjaga keamanan kemerdekaan.”

Pesan moral tentang kejujuran, kebenaran, dan perlawanan terhadap ketidakadilan dalam lakon Cindelaras digambarkan sebagai cermin dari semangat Resolusi Jihad NU 22 Oktober 1945, yang menjadi latar belakang ditetapkannya Hari Santri Nasional.

Penutup yang Mistis: Kidung Mantra Wedha dan Tembang Penutup

Acara ditutup secara khidmat dengan pembacaan Kidung Mantra Wedha atau Kidung Rumeksa Ing Wengi yang dipercaya sebagai karya Sunan Kalijaga. Tembang yang sarat dengan permohonan perlindungan kepada Allah ini dibawakan oleh Mas Iwan, mengiringi para hadirin dengan rasa daman dan penuh berkah.

Sebelum benar-benar berakhir, Bintang Songo kembali mempersembahkan beberapa tembang, termasuk “Lir Ilir” dan sholawat, mengingatkan hadirin pada kewajiban sebagai muslim dan santri.

Sebuah Pernyataan Budaya yang Tegas

Pagelaran Wayang Beber dalam rangka HSN 2025 oleh PCNU Kota Mojokerto ini adalah sebuah pernyataan yang tegas. Di satu sisi, NU konsisten melestarikan budaya Nusantara sebagai bagian dari identitas bangsa. Di sisi lain, NU tidak lupa pada akar historisnya sebagai organisasi yang lahir dari semangat juang para kiai dan santri mempertahankan kemerdekaan.

Acara ini membuktikan bahwa warisan leluhur seperti wayang beber bukanlah relik mati, tetapi medium yang tetap relevan untuk menyampaikan pesan-pesan moral, spiritual, dan nasionalisme di zaman now. Sebagaimana disampaikan pembawa acara di akhir, “Semoga tahun depan kita akan menggelar beberapa seni islami yang akan kita gelar untuk insyaallah hari santri tahun depan.” (Lmcr)