nukotamojokerto.or.id

Merawat Tradisi, Membangun Masa Depan

Berita Kegiatan

Debat Panas Bahstul Masail: Bolehkah Shalat Jama’ Saat Karnaval?

MOJOKERTO – Graha Alkhodijah Surodinawan berubah menjadi arena pertarungan argumen intelektual yang tidak biasa. Puluhan santri dari 21 delegasi pondok pesantren se-Mojokerto Raya berkumpul, bukan untuk berpesta, melainkan untuk menguji pemahaman agama melalui Bahstul Masail yang diselenggarakan PCNU Kota Mojokerto dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional 2025.

M. Uqba, sang moderator, membuka sesi dengan pertanyaan sederhana namun langsung memanaskan suasana:

“Bolehkah menjama’ shalat saat mengikuti karnaval?”

Munir, sebagai shohibul mas’alah (pemilik pertanyaan), langsung menjadi pusat perhatian. Berbagai pertanyaan dilontarkan peserta lain, menuntut penjelasan mendalam agar tak terjadi salah paham.
“Ini bukan sekadar debat, tapi proses tabayyun—klarifikasi demi mendapatkan jawaban yang relevan untuk kemaslahatan umat,” ujar Uqba di sela-sela sesi.

Kharisul Ilmi, delegasi dari tim Jamu Pahit, mengacungkan papan nama tanda ingin menjawab. Dengan suara lantang ia berkata,

“Boleh! Karena karnaval merupakan salah satu bentuk hajat dan bisa menjadi udzur syar’i.”
Ia pun mengutip dalil dari Kitab Majmu’ dan Bujairimi sebagai penguat argumennya.

Udara malam semakin bergetar, bukan karena dentuman musik son horeg, melainkan suara keras dan lantang dari delegasi lain yang menolak pendapat Jamu Pahit.
Okto dan Hafis, dari Pesantren Al Amin, menyampaikan protes tegas.

“Tidak setuju! Karena karnaval bukan termasuk udzur syar’i yang membolehkan melakukan jama’,” tutur keduanya sambil menyeruput kopi panas di depan mereka.

Argumen demi argumen terus mengalir. Delegasi Pesantren Al Ma’aba turut mendukung pendapat Al Amin, membuat suasana semakin hangat. Ketegangan bercampur dengan gelak tawa khas santri memenuhi ruangan.

Ustadz Syamsul dan KH Wajih selaku perumus tidak membiarkan suasana menjadi kacau. Dengan tenang mereka mengarahkan alur diskusi sambil sesekali menyisipkan lelucon ringan ala santri.

“Kalau shalat jama’ saat karnaval dekat son horeg, gerakannya mantul-mantul, ya?”
Candaan Ustadz Syamsul seketika memecah ketegangan menjadi tawa riang.

Puncak acara tiba ketika KH Syafi’ Lutfin yang didaulat menjadi mushohih menyampaikan kesimpulan. Dengan teliti ia menelusuri setiap dalil dan argumen peserta, mulai dari hadis hingga pendapat madzhab Syafi’i, bahkan melibatkan lintas madzhab.

“Menjama’ shalat saat karnaval tidak termasuk dalam udzur yang membolehkan seseorang menjama’ shalat. Namun, ada celah: jika mengikuti karnaval dalam rangka bekerja untuk memenuhi kewajiban menafkahi keluarga—misalnya disewa menjadi ikon karnaval—maka boleh menjama’ shalatnya dengan mengikuti madzhab Hanbali,” tuturnya.

Ruang seketika hening. Lalu, tepuk tangan dan bacaan Surah Al-Fatihah menggema, menutup sidang penuh hikmah itu.

Acara yang dimulai sekitar pukul 19.30 dan berakhir sekitar pukul 23.30 ditutup oleh Wakil Ketua PCNU Kota Mojokerto, KH Ali Fahruddin.

“Saya bersyukur dan sangat yakin masa depan Nahdlatul Ulama sangat cerah. Masih banyak santri muda yang gigih bergelut dengan kitab kuning di tengah tantangan zaman. Saya berharap kegiatan ini bisa istiqamah,” ungkapnya.

Bahtsul Masail adalah ruh, jantung dari jam’iyyah Nahdlatul Ulama dalam merespons problematika kompleks di tengah masyarakat.
Malam itu, di Graha Alkhodijah, para santri bukan hanya berdebat, tapi juga belajar berpikir kritis, beradab, dan menjaga warisan keilmuan para ulama. (Siroj)