nukotamojokerto.or.id

Merawat Tradisi, Membangun Masa Depan

Ngaji Syuriyah

Hierarki Mujtahid, Taqlid, dan Doa Penutup Muqoddimah

(Disarikan dari Ngaji Bareng Syuriyah kitab Nihayatuz Zain yang ke-8 di Kantor PCNU Kota Mojokerto)

Kitab “Nihayatuz Zain” adalah ringkasan (demikian Syekh Nawawi rahimahullah menyebutnya) dalam fan fikih yang menganut madzhab Imam asy-Syafi’I rahimahullah. Imam asy-Syafi’ii sendiri adalah seorang mujtahid mutlak. Nama panggung “asy-Syafi’I” adalah nama sang kakek yang termasuk shahabat dan anak dari shahabat Rasulillah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama, Syafi’ bin as-Saaib radliyallaahu anhuma.

Hierarki Mujtahid Ilmu Fikih

Menurut Syekh Nawawi, mujtahid dalam ilmu fikih ada tiga kategori;

  1. Mujtahid Mutlak, yaitu seseorang yang mampu menggali hukum dari sumber-sumber dalilnya. Termasuk mujtahid kategori ini adalah para imam madzhab, Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris bin Syafi’, dan Imam Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
  2. Mujtahid Madzhab, yaitu seseorang seseorang yang mampu menggali hukum berdasarkan kaidah-kaidah yang digariskan oleh imam madzhab. Termasuk mujtahid kategori ini adalah Imam al-Muzanni dan Imam al-Buwaithy rahimahumallah.
  3. Mujtahid Fatwa, yaitu seseorang yang mampu menentukan qaul (pendapat) yang rajih (unggul) pada qaul-qaul ulama madzhab. Termasuk mujtahid kategori ini adalah Imam an-Nawawi dan Imam ar-Rofi’I rahimahumallah. Imam ar-Romly dan Imam Ibnu Hajar al-Haitamy rahimahumallah, tidak termasuk mujtahid fatwa karena beliau berdua adalah murid dari Imam An-Nawawi. Beliau berdua dianggap sebagai muqollid (muttabi’), orang yang mengikuti pendapat gurunya.

Klasifikasi mujtahid ini sangat penting guna menunjukkan hierarki mujtahid dan kepatuhan bagi kita yang tak memiliki kemampuan berijtihad. Hierarki mujtahid fikih adalah mujtahid mutlak, mujtahid madzhab, dan mujtahid fatwa. Di luar lingkar mujtahid, namanya muqollid. Rumusnya adalah siapa pun yang tidak memiliki keahlian ijtihad mutlak, ia wajib tunduk dan mengikuti pendapat mujtahid mutlak dalam masalah-masalah fikih (ilmu furu’, cabang). Bila mujtahid madzhab seperti Imam al-Muzanni, mujtahid fatwa seperti an-Nawawi, dan muqollid yang menjadi murid langsung dari mujtahid fatwa seperti Imam ar-Romly, wajib tunduk pada ijtihadnya Imam asy-Syafi’i, lalu bagaimana dengan kita yang sangat jauh dari kata ijtihad? Sangat wajib jawabnya. Sangat wajib hukumnya ber-taqlid (mengikuti pendapat) pada salah satu imam madzhab. Dalil kewajiban ini adalah firman Alloh Subhaanahuu wa Ta’aalaa dalam QS an-Nahl ayat 43:

فَسأَلُوا أَهلَ الذِّكرِ إن كُنتُم لاَتَعلَمُون (النحل: 16/43)
“Bertanyalah pada ahlinya jika kalian tidak memahami akan sesuatu.”

Melalui ayat ini, Alloh mewajibkan kita menanyakan sesuatu yang tidak kita ketahui pada ahlinya. Secara lebih spesifik, ayat ini mewajibkan kita ber-taqlid pada salah satu dari empat imam madzhab. Kita tidak diperbolehkan taqlid pada selain empat imam madzhab, seperti ber-taqlid pada Imam Sufyan ats-Tsauri, Imam Sufyan bin ‘Uyainah, maupun Imam Abdurrahman bin Umar al-Auza’iy rahimahumullah. Kita juga tidak diperbolehkan ber-taqlid pada para ulama dari kalangan shahabat radliyallahu anhum. Hal ini lantaran pemikiran beliau-beliau belum utuh menjadi suatu keilmuan dan juga belum terbukukan. Kebalikan dari ini adalah siapa saja yang berijtihad mutlak, maka ia haram bertaqlid. Imam Syafi’i haram bertaqlid pada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Ahmad bin Hambal haram pula bertaqlid pada Imam Syafi’i.

Tidak Taqlid Mengancam Keimanan

Ilmu tauhid berbeda dengan ilmu fikih. Ilmu tauhid adalah ilmu ushul (pondasi agama), sedangkan ilmu fikih adalah ilmu furu’ (ilmu cabang). Implikasinya adalah tidak taqlid dalam ilmu tauhid mengancam keimanan, sementara tidak taqlid dalam ilmu fikih istilahnya hanya tidak diperbolehkan. Salah dalam bertauhid berarti sesat, dan salah dalam mengamalkan ilmu fikih hanya berarti dosa.

Untuk itu dibuatlah aturan, siapa saja yang tidak memiliki kemampuan berijtihan dalam ilmu ushul (ilmu tauhid), ia harus ber-taqlid pada akidah Imam Abul Hasan al-Asy’ary atau Imam Abu Mansur al-Maturidy rahimahumallah. Keimanan muqollid masih diperdebatkan dalam hukum-hukum akhirat. Dalam hukum-hukum dunia, keimanannya cukup bisa dilihat pengakuan (iqrar). Menurut pendapat yang paling shahih, rinciannya sebagai berikut;

  1. Orang yang menguasai ilmu tauhid tapi ia ber-taqlid, maka ia adalah mukmin yang bermaksiat.
  2. Orang yang tidak menguasai ilmu tauhid lalu ia ber-taqlid, maka ia adalah mukmin yang tidak bermaksiat.
  3. Bila seseorang yakin saat ber-taqlid pada pendapat orang lain dengan keyakinan yang kuat yang seandainya orang yang ia ikuti berubah pendapatnya, ia tetap mengikuti pendapatnya yang lama, maka amanlah imannya. Ia hanya dianggap bermaksiat bila mampu berpikir namun tidak mau berpikir alias tetap mengikuti pada pendapat yang lama.
  4. Bila seseorang yakin saat ber-taqlid pada dengan pendapat orang lain namun keyakinannya goyah saat orang yang ia ikuti berubah pendapatnya (ia juga ikut berubah pendirian), maka hal ini mengancam keimanannya.

Mari kita renungkan, sudah bertaqlid namun kurang yakin saja mencederai keimanan, apalagi bila ada seseorang yang tidak menguasai ilmu tauhid lalu tidak mau bertaqlid? Wal ‘iyaadzu billaah.

Taqlid dalam Tasawwuf

Siapa yang tidak menguasai ilmu tasawwuf, maka ia wajib taqlid pada salah satu imam tasawwuf, seperti Imam al-Junaid al-Baghdady rahimahullah. Nama lengkap beliau adalah Imam Said bin Muhammad bin Abul Qasim al-Junaid, pemimpin para ulama sufi baik dalam ilmu maupun amal, radliyallahu anhu.

Kesimpulan dari ini semua; Imam asy-Syafi’i beserta imam madzhab lainnya adalah penunjuk umat dalam ilmu furu’, Imam al-Asy’ari beserta Imam al-Maturidi adalah penunjukk umat dalam ilmu ushul, dan Imam al-Junaid adalah penunjuk umat dalam bidang tasawwuf. Semoga Alloh membalas kebaikan mereka. Semoga Alloh memberi kemanfaatan kepada kita dengan perantara mereka. Amin.

Doa Penutup Muqoddimah

Syekh Nawawi menutup muqoddimah kitabnya dengan menuturkan bahwa ringkasan yang beliau susun adalah syarah dari kitab “Qurrotul ‘Ain bi Muhimmatid Diin”. Baik Syekh Zainuddin al-Malibary rahimahullah (penyusun kitab Qurrotul ‘Ain) maupun Syekh Nawawi sama-sama berharap pada kemurahan Allah ar-Rahman agar menjadikan karya beliau susun bisa memberikan manfaat pada santri-santrinya yang adzkiya’ (cepat memahami ilmu), dan agar mata beliau berdua bahagia karena diizinkan memandang Alloh di surga tiap pagi dan sore hari.

Akidah ahlussunnah meyakini bahwa Alloh Subhaanahuu wa Ta’alaa bisa dilihat oleh mata kepala orang-orang mukmin di akhirat tanpa perlu dijelaskan bagaimana arahnya maupun gambarannya. Orang-orang mukmin berbeda tingkatannya dalam memandang Alloh Ta’aala; ada yang bisa memandang tiap hari raya, ada yang bisa memandang tiap hari Jum’at, ada pula yang memandang Alloh tiap pagi dan sore hari.

Imam Abul Yazid al-Busthomy rahimahullah berkata;

إن لله خواصا من عباده لو حجبهم عن الجنة عن رؤيته لاستغاثوا من الجنة ونعيمها كما يستغيث أهل النار من النار وعذابها
“Sungguh Alloh punya hamba² pilihan yg andai Alloh menghijabi mereka dengan nikmat surga sehingga mereka tak bisa memandang Alloh, niscaya mereka akan memohon agar nikmat² itu disingkirkan sebagaimana ahli neraka memohon agar diselamatkan dari siksa neraka.”

أسألك اللهم لذة النظر إلى وجهك الكريم والشوق إلى لقائك في غير ضراء مضرة ولافتنة مضلة

Kantor PCNU Kota Mojokerto
Mojokerto, 01 Maret 2025

Qari’: Gus Sirojul Munir, M.Pd.I
Notulis: Taufik Taufani