Kota Mojokerto (12/10)— Di balik sosoknya yang bersahaja, Joko Samsianto menyimpan semangat pengabdian yang luar biasa. Lahir di Mojokerto pada 19 Juli 1983, lulusan SMP 8 ini bukan hanya marbot yang setia di kantor PCNU Kota Mojokerto, tapi juga anggota Banser yang selalu siap siaga, dan wakil mudin yang dengan suara tenang menuntun talqin bagi jenazah.

Rutinitas Joko mungkin tampak sederhana: membersihkan masjid, menyiapkan air wudu, menjaga kebersihan lingkungan NU. Namun di setiap gerak tangannya, tersimpan cinta yang dalam pada organisasi dan umat. Ia jarang bicara besar, tapi tindakannya berbicara lantang. “Hidup dan matiku sudah saya wakafkan untuk kepentingan NU,” ujarnya tanpa ragu. Kalimat itu bukan sekadar slogan, melainkan napas keseharian yang menuntunnya dalam langkah sunyi namun bermakna.
Sore itu, di sela tugasnya, Joko duduk santai sambil menikmati kopi dan membagikan es degan kepada teman-temannya. “Bagi saya, berbagi itu membawa kebahagiaan. Rezeki bukan untuk disimpan, tapi untuk dibagi,” katanya sambil tersenyum. Gestur kecil itu menggambarkan jiwa dermawannya yang tulus dan tanpa pamrih.
Ketika NU memanggil, ia selalu datang tanpa menunda. Panas terik, hujan deras, atau malam larut tak pernah menjadi alasan untuk absen. Dalam diri Joko, pengabdian bukan sekadar tugas, tapi panggilan jiwa. Dari tangannya yang kasar karena kerja keras, mengalir ketulusan yang meneduhkan — kisah tentang seorang marbot yang menjadikan hidupnya persembahan bagi kebaikan dan pengabdian.
(Siroj)

