nukotamojokerto.or.id

Merawat Tradisi, Membangun Masa Depan

Ngaji Syuriyah

Mukallaf

(Disarikan dari Ngaji Bareng Syuriyah kitab Nihayatuz Zain yg ke-10 yg dilaksanakan oleh PCNU Kota Mojokerto)

Syekh Nawawi Al-Bantany rahimahullah mendefiniskan mukallaf (orang yang dikenai kewajiban melaksanakan syari’at Islam) agak berbeda dari kebanyakan literatur fikih. Biasanya mukallaf didefinisikan dengan orang yang sudah baligh dan berakal. Syekh Nawawi menambahkan syarat tambahan, orang disebut mukallaf bila; 1) baligh, 2) berakal), 3) saliimu al-hawwaas (sehat panca inderanya), 4) balaghathu al-da’wah (dakwah telah sampai padanya). Sepertinya, hanya Syekh Nawawi dalam Nihayatuz Zain-nya yang memberikan syarat tambahan saliimu al-hawwaas dan balaghathu al-da’wah. Kitab-kitab syarah dari Qurrotul ‘Ain bi Muhimmaatid Diin;seperti Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin Al-Malibary rahimahullah maupun I’aanahut Thoolibiin-nya Syekh Al-Bakry Ad-Dimyathi rahimahullah tidak menyebutkan demikian. Yang ada hanya syarat balaghathu al-da’wah yang tertulis pada kitab Tarsyihu Mustafidin ‘ala Syarhi Fathil Mu’in karya Sayyid ‘Alawi bin Aad Assegaf rahimahullah.

Definisi baligh dan berakal bersumber dari hadits Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama yang berbunyi:

رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يكبر، وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق (رواه ابن ماجه والحاكم)

“Pena diangkat (kewajiban dibebaskan) dari tiga orang; dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia besar (baligh), dan dari orang gila sampai ia berakal dan sembuh dari gilanya.”

Seorang anak kecil dianggap baligh bila ia sudah mencapai umur 9 tahun berdasarkan kalender hijriyah, atau bila ia sudah mengalami ihtilam, keluar air mani baik dalam kondisi tidur maupun kondisi terjaga, atau bila ia sudah mengeluarkan darah haid (khusus anak perempuan). Bila ada anak berusia 8 tahun tapi sudah ihtilam atau sudah haid, maka ia sudah baligh. Sebaliknya, anak yang sudah menginjak usia 15 hijriyah tapi belum ihtilam atau haid, maka ia dianggap sudah baligh. Selama anak belum baligh, maka ia belum mukallaf, belum wajib melaksanakan shalat 5 waktu.

Syarat berakal mengecualikan orang gila, orang yang mabuk karena sebab yang tidak berakibat dosa, maupun orang yang tidur. Mereka semua dianggap tidak mukallaf sehingga tidak wajib melaksanakan shalat 5 waktu. Orang gila seperti orang yang sembrono dan tak ragu meloncat dari ketinggian meskipun loncatannya berpotensi menghilangkan akal bahkan jiwanya. Orang mabuk ada dua jenis; mabuk yang berdosa dan mabuk yang tidak berdosa. Mabuk yang berdosa seperti orang yang dengan sengaja mengonsumsi sesuatu yang membuatnya hilang akal. Mabuk yang tidak berdosa adalah orang yang mabuk tidak sengaja seperti orang yang mabuk laut, orang yang minumannya diberi obat penghilang akal, maupun orang yang disuntik bius atau anastesi. Orang yang mabuk dengan sengaja masih dianggap mukallaf sehingga ia berdosa bila melanggar syariat Islam (masih wajib shalat), sedangkan orang yang mabuk (hilang akal) tidak sengaja tidak dianggap mukallaf (tidak wajib shalat). Tidur yang dimaklumi syariat adalah tidur yang normal. Bila ada orang begadang, lalu baru tidur jam 3 dini hari hari, maka ia dianggap berdosa bila tidak melaksanakan shalat Subuh.

Syarat Tambahan

Syekh Nawawi menambahkan dua syarat tambahan agar orang disebut mukallaf. Syarat saliimu al-hawwaas (sehat panca inderanya) tidak berlaku bagi semua penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas yang dimaksud oleh Syekh Nawawi adalah orang yang ditakdirkan tunanetra sekaligus tunarungu sejak lahir (khuliqo a’maa wa ashamm) sebab secara logika hanya penyandang tunanetra sekaligus tunarungu sejak lahir yang tidak punya akses untuk memahami syariat. Ilmu bisa didapat dengan melihat atau mendengar. Karena penglihatan dan pendengarannya diambil, penyandang tunanetra dan tunarungu tidak termasuk mukallaf, tidak wajib melaksanakan shalat lima waktu, tidak wajib patuh pada syari’at agama, sekalipun ia bisa berbicara. Kemampuan berbicara tidak bisa menjadi jalan untuk memahami syariat Islam. Hal ini tentu saja tidak berlaku bagi penyandang tunanetra dan tunarungu yang sempat mengetahui syariat Islam karena tidak disabilitas sejak lahir. Andai sewaktu-waktu penglihatan dan pendengarannya dikembalikan oleh Alloh, maka ia tak wajib mengqadla shalat dan kewajiban-kewajiban yang ia tinggal.

Syarat balaghathu al-da’wah (dakwah telah sampai padanya) berimbas pada tercabutnya status mukallaf pada orang nonmuslim yang belum ada dakwah Islam yang sampai padanya. Berbeda dengan muslim yang dakwah Islam belum sampai pada dirinya, maka ia tetap dianggap mukallaf yang wajib menjalankan syariat Islam. Hal ini karena ia ditakdirkan muslim namun tidak tahu syariat agama yang ia peluk karena hidup menjauh dari ulama. Syekh Nawawi bersikukuh bahwa muslim yang demikian tetap wajib mengqadla shalat dan kewajiban yang lain yang ditinggal selama masa ketidaktahuannya akan syariat Islam. Pendapat yang keras dari Syekh Nawawi adalah wujud warning (peringatan) agar umat Islam tidak sembrono mengabaikan ilmu agama dan meninggalkan ibadah. Pendapat agak ringan dikemukakan oleh Imam Ar-Romly dalam Taqriirat Sadiidat halaman 196 bahwa muslim yang tidak mengerti syariat Islam tidak wajib mengqadla kewajiban-kewajiban beribadah yang ia tinggalkan.

Keringanan dan Ketegasan

Syekh Nawawi melanjutkan syarahnya pada matan (Qurroti ‘Ain bi Muhimmmatid Din) bahwa shalat maktubah wajib atas orang Islam yang mukallaf dan suci dari haid dan nifas. Wanita yang sedang haid dan nifas tidak diwajibkan (bahkan diharamkan) melaksanakan shalat lima waktu. Ketidakwajiban shalat atas wanita yang haid dan nifas, orang gila, anak kecil, penyandang tunanetra sekaligus tunarungu, dan lainnya sebagaimana telah dibahas sebelummnya adalah wujud keringanan dan kemudahan syariat Islam. Saat faktor-faktor penghalang itu hilang, maka muslim yang mukallaf serta suci dari haid dan nifas wajib melaksanakan shalat lima waktu. Bila tidak, maka menurut fikih, ia terancam dibunuh, dipenggal lehernya dengan pedang.

Secara fikih, orang yang wajib shalat tapi tidak melaksanakan shalat sampai waktunya habis terancam dibunuh walaupun hanya karena meninggalkan satu shalat. Orang yang meninggalkan shalat Subuh terancam dibunuh setelah terbitnya fajar. Orang yang meninggalkan shalat Dhuhur dan shalat Maghrib terancam dibunuh setelah tenggelamnya matahari (bagi shalat Dhuhur) dan terbitnya fajar shadiq (bagi shalat Maghrib). Mereka diberi kelonggaran sampai habisnya waktu shalat jamaknya. Mereka tidak bisa dieksekusi karena ada syubhat berupa ketidakjelasan hukum akibat adanya celah mengakhirkan shalat dengan dalih jamak.

Hukum bunuh ini berlaku untuk orang yang meninggalkan shalat baik karena malas maupun menganggap remeh shalat dengan kondisi ia masih meyakini kewajibannya. Pada titik ini, ia masih dihukumi muslim. Sebaliknya bila ada orang muslim, alim, hafal al-Qur’an, namun ia tidak meyakini kewajiban shalat, maka dihukumi kafir. Ancaman hukum bunuh bagi orang yang tinggal shalat masih belum tuntas. Masih ada banyak ketentuan dan penjelasan yang insya Alloh dibahas pada pertemuan selanjutnya.

Kantor PCNU Kota Mojokerto
Mojokerto, 17 Mei 2025

Qari’: Gus Ali Fachrudin
Notulis: Taufik Taufani