nukotamojokerto.or.id

Merawat Tradisi, Membangun Masa Depan

Ngaji Syuriyah

Tentang Fikih

(Disarikan dari Ngaji Bareng Syuriyah kitab Nihayatuz Zain yg ke-7 yg dilaksanakan oleh PCNU Kota Mojokerto)

Syekh Nawawi al-Bantani rahimahullah mulai mengawali karyanya setelah membuka dengan basmalah, hamdalah, dan shalawat. Beliau konsisten dengan ketawadluannya. Sebelumnya beliau mengatakan bahwa karya ini diperuntukkan para pemula seperti dirinya, karya ini hanya saduran pendapat ulama (beliau tidak menyampaikan pendapatnya sedikit pun), dan bila ada kesalahan maka itu mutlak dari pikirannya. Maka kali ini Syekh Nawawi mengatakan bahwa karyanya berupa ringkasan yang sedikit redaksinya yang membahas permasalahan fikih. Dalam kenyataannya, bagaimana mungkin ini dianggap sedikit, bila satu/dua baris tulisan Syekh Zaimuddin al-Malibari rahimahullah bepiau syarahi dengan tulisan penuh satu halaman?

Definisi Fikih

Fikih secara bahasa adalah memahami. Secara istilah, fikih adalah dugaan (dhon) yg kuat pada hukum-hukum syar’i amaliy (yg diamalkan) yg diambil dari dalil-dalilnya yg terperinci. Shalat hukumnya wajib adalah contoh fikih yang difahami dari dalil ayat al-Qur’an yg berbunyi “aqiimus shalaah”, “dirikanlah shalat”. Semua ayat yg menyangkut shalat menggunakan redaksi “aqiimu” (dirikanlah) sebab punya makna yg lebih dalam daripada sekedar “shalatlah”.

Definisi fikih secara istilah yg dipilih oleh Syekh Nawawi swdikit berbeda dengan definisi yg dipilih oleh para ulama. Para ulama umumnya mendefinisikan fikih sebagai “ilmun”, pemahaman, keyakinan, akan hukum-hukum syar’i. Di kitab Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi mendefinisikannya dengan “dhon qowiy”, dugaan yang kuat. Sebagaimana dimaklumi “ilmun” levelnya di atas “dhon”. “Ilmun” adalah pemahaman atau keyakinan 100%. “Dhon” adalah pemahaman atau keyakinan dari 51-99%. Syekh Nawawi mendefinisikan fikih sebagai “dhon qowiy”, “dhon” 99% yg mendekati “ilmu” menurut para ulama yg lain. Hal ini bisa jadi karena ilmu fikih kebenarannya yg bersifat “dhonny”, sebatas dugaan, tidak seperti al-Qur’an dan hadits yg kebenarannya bersifat “qhot’iy”, pasti. Pemilihan diksi “dhon qowiy” untuk mewadahi perbedaan para ulama dalam menentukan sebuah hukum. Karena masih “dhon”, maka masih terbuka kebenaran bagi pendapat atau madzhab yg lain. Agak kontradiksi mendefinisikan fikih sebagai “ilmu”, kepastian 100% bila dihadapkan pada sebuah kasus yg mana ulama yg satu memvonisnya sah sedang ulama lainnya tidak sah. Imam asy-Syafi’i rahimahullah punya quote yg masih viral sampai sekarang;

رأيي صواب ويحتمل الخطإ، ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

“Pendapatku benar dan berpotensi salah. Pendapat selainku salah dan berpotensi benar.”

Tema Fikih

Tema fikih adalah perbuatan-perbuatan mukallaf (baligh & berakal) ditinjau dari hukum taklifi dan hukum wadl’i. Perbuatan orang-orang yg tidak mukallaf (seperti anak kecil atau orang gila) tidak masuk pembahasan fikih.

Hukum taklifi adalah memaksanya syariat pada mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu. Perbedaan stressing atau level pemaksaan menghasilkan 5 hukum; wajib, sunnah, dkk. Paksaan melakukan sesuatu dg nada serius dinamakan wajib, sedangkan paksaan yg agak santai namanya sunnah. Paksaan meninggalkan sesuatu dengan sungguh-sungguh dinamakan haram, sedangkan paksaan meninggalkan sesuatu tapi tidk terlalu serius namanya makruh. Dan mubah adalah hal yang tidak intruksikan untuk dilakukan atau pun dtinggalkan.

Hukum wadl’i beda lagi. Ia lebih pada paksaan syariat dengan cara menjadikan suatu hal sebagai sebab, syarat, atau penghalang, pd hal lain. Contoh masing-masing adalah sebagai berikut:

  1. Shalat adalah intruksi langit (hukum taklifi)
  2. Sebab masuk waktu dhuhur, maka shalat Dhuhur wajib (hukum wadl’i, sebab)
  3. Sebab memenuhi syarat mukallaf, maka saya wajib shalat Dhuhur (hukum wadl’i, syarat)
  4. Sebab haid maka perempuan tdk boleh shalat (hukum wadl’i, penghalang/mani’)

Sumber-Sumber Fikih

Syekh Nawawi melanjutkan pembahsannya dengan menyebutkan sumber-sumber hukum Islam, yaitu; al-Kitab, as-Sunnah, ijma’, qiyas, istishab, istihsab, istiqra’, dan dalatul iqtiron. Empat sumber atau dalil pertama adalah sumber hukum atau dalil yg disepakati, dan empat terakhir adalah sumber hukum atau dalil yg diperselisihkan.

Dalam madzhab Syafi’i, al-Qur’an dan Hadits menduduki posisi pertama dan kedua sebagai sumber hukum atau dalil. Namun karena mustahil mencari hukum hanya melalui al-Qur’an & hadits, Imam Syafi’i dan imam madzhab yg lain tetap mengakomodir sumber hukum atau dalil selainnya. Dan ini yg diikuti oleh Nahdlatul Ulama.

Sebagai contoh, kita takkan bisa menemukan dalil pembukuan al-Qur’an, adzan shalat Jum’at dua kali, atau pun jamaah shalat Tarawih 20 rakaat kecuali dari ijmak. Salah seorang bandar sabu-sabu di Kota Mojokerto mengaku tak pernah mengonsumsi jualannya. Ia juga berasal dari keluarga pesantren. Hasil jualan sabu-sabunya ia pakai untuk umroh sekeluarga. Ketika ditangkap dan ditanya mengapa ia menjual sabu-sabu, dengan enteng ia menjawab, “Sabu-sabu tidak ada dalam al-Qur’an”. Cacat logika ini dikarenakan yg bersangkutan tidak mengenal dalil qiyas. Padahal dengan qiyas, kita bisa menyamakan hukum qiyas dengan khomer karena sama-sama memabukkan. Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallama bersabda, “Kullu muskirin khomrun, wa kullu muskirin haraamun”, tiap² yg memabukkan seperti khomer dan tiap² yg memabukkan hukumnya haram.

Seseorang yg lupa jumlah rakaat shalat yg dilakukannya, apakah sudah empat atau masih tiga, maka ia harus meyakini baru rakaat tiga karena rakaat tiga sudah pasti dilakukan dan rakaat empatasih meragukan. Seseorang yg lupa jumlah gorengan yg ia makan di kantin apakah lima atau enam, ia harus meyakini enam karena ada hak orang lain yang ada di situ. Persoalan seperti ini bisa dijawab dengan istishab. Lain lagi dengan tarif penggunaan kamar mandi. Budaya sepakat menganggap baik “istihsan” tarif 2000 untuk BAK, 3000 untuk BAB, dan 5000 untuk mandir tanpa memperhitungkan durasi pemakaian kamar mandi maupun jumlah air yg digunakan. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullah pernah ber-istihsan bahwa sumpah al-Qur’an lebih efektif dilakukan.

Imam Asy-Syafi’i pernah melakukan penelitian tentang jumlah hari haid. Penelitian atau istiqra’-nya menghasilkan bahwa paling sedikitnya haid sehari semalam, umumnya 7 hari, dan paling banyak 15 hari. Penelitian ini berperan banyak dalam menentukan masa suci dan istihadhoh. Kuda lebih mahal daripada sapi, akan tetapi kuda tidak wajib dikeluarkan zakatnya berdasarkan dalalatul iqtiron. Kuda disebutkan bersamaan dengan bighol dan himar sebagai kendaraan dan perhiasan dalam QS An-Nahl: 16/8.

Penisbatan Lain

Faedah mempelajari fikih adalah seseorang bisa melaksanakan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-larangan-Nya yang mana dua hal ini mengantarkannya menggapai keuntungan duniawi dan ukhrowi. Dengan fikih, kita merasa aman karena harta-harta kita dilindungi syariat bahwa mencuri itu dilarang, dan sebagainya. Pernah ada muallaf yang masuk Islam karena ia merasa terlindungi dengan syari’at Islam yang melindungi harta yg ia miliki. Di agama sebelumnya, ia tak menemukan payung hukum agama atas kedholiman saudara-saudaranya yang sering mengambil hartanya atau tidak mau membayar hutang. Dengan fikih pula, kita akan terhindar dari perzinaan karena realitanya banyak mantan suami istri terjebak dalam perzinaan karena tidak memahami ketentuan talak & rujuk.

Fikih termasuk ilmu yang paling mulia dan termasuk ilmu agama syar’iyyah. Fikih adalah cabang dari ilmu tauhid karena dengan fikih seseorang bisa membuktikam tauhidnya dengan benar. Fikih mempunyai dua nama; ilmu fikih dan ilmu furu’ (cabang).

Peletak dasar ilmu fikih secara umum adalah al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit rahimahimallah. Beliau adalah penyusun awal ilmu fikih kecuali bab taflis (pailit), hajr (tercegahnya orang bertransaksi, sabq (perlombaan), dan romyu (memanah). Ulama yg pertama kali membahas bab tersebut adalah Imammuna asy-Syafi’i.

Syari’ (peletak syari’at, Alloh) menetapkan hukum mempelajari ilmu fikih menjadi dua; 1) wajib ainiy, wajib yg harus dilakukan oleh masing-masing individu, fikih yg wajib ainiy adalah bab-bab fikih yg bersinggungan langsung dengan seseorang, 2) wajib kifaiy, wajib yg cukup diwakili oleh sebagian orang, fikih yg wajib kifaiy adalah bab-bab fikih yg tidak bersinggungan langsung dengan hidup seseorang. Orang awam cukup belajar fikih yg wajib ainy seperti bab bersuci, shalat, puasa, nikah, dan seterusnya. Orang awam yg tidak punya harta yg cukup tidak wajib belajar bab zakat (selain zakat fitrah) dan haji. Bab-bab fikih yang lain, yg wajib kiafaoy cukup diwakili oleh para romo kiai. Bila orang awam menemukan persoalan, tinggal sowan dan menanyakan pada sang kiai.

Fikih membahas kasus-kasus seperti zakat perdagangan hukumnya wajib, bersumpah dengan selain nama Alloh (termasuk bersumpah demi Rasulullah, apalagi selain itu) hukumnya makruh, dan ziarah kubur hukumnya sunnah. Syekh Nawawi sengaja mencantumkam kesunnahan ziarah kubur untuk membentengi amaliah ahlussunnah wa jamaah an-nahdliyyah yang gemar ziarah kubur. Dulu ziarah kubur dilarang lalu kemudian diperintahkan oleh Rasulullah. Sesuai kaedah fikih “al-amru ba’dan nahyi yufiidul ibaahah”, perintah yg jatuh setelah larangan menunjukkan hukum boleh. Bila menggunakan larangan dan perintah saja, maka hukum ziarah kubur adalah mubah. Namun, ziarah kubur hukumnya naik menjadi sunnah karena dalil lain yg menguatkan kesunnahannya, diantaramya hadits “aktsiruu dzikro haadimil laddzat, al-maut”, perbanyaklah mengingat penghancur nikat dunia yakni kematian.

Kantor PCNU Kota Mojokerto
Mojokerto, 15 Februari 2025

Qari’ & Notulis: Taufik Taufani